Kamis, 15 Januari 2015

TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN



1. Contoh Kasus Tentang Ilmu Pengetahuan Teknologi

Selama beberapa tahun terakhir ini perkembangan teknologi informasi (TI) semakin maju sejalan dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Pengenalan terhadap perangkat teknologi pun seharusnya sudah dilakukan sejak dini agar tidak “gaptek” atau gagap teknologi di era globalisasi yang semakin berkembang apalagi di Indonesia. “Anak-anak Indonesia seharusnya sudah dikenalkan pada teknologi itu sejak pre-school. Sekitar usia empat tahun.” ujar Tika Bisono, dalam acara Memanfaatkan Perangkat Tehnologi untuk Pengembangan Kreativitas Anak, di Kidzania, Jakarta, Selasa (19/2).
Menurut Tika Bisono, penggunaan teknologi informasi yang semakin canggih pada anak-anak, seharusnya mendapat pendampingan dari orang tua. “Orangtua dapat mengarahkan anak-anak dalam penggunaan perangkat-perangkat teknologi tersebut, sehingga penggunaannya tidak melewati batas-batasnya. Tapi orangtuanya harus belajar dulu. Ya perlu semacam edukasi teknologi untuk orangtua,” ujar Tika.

Menurut hasil penelitian lembaga riset pasar ritel dan konsumen global, NPD Group yang berkedudukan di New York, Amerika Serikat, pada pertengahan 2007, anak-anak usia empat sampai lima tahun yang berada di Amerika Serikat, paling sering menggunakan perangkat teknologi komputer. Walaupun penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat namun hasilnya bisa menjadi sebuah rujukan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan meningkatnya fenomena anak-anak yang akrab dengan dunia TI. Tika mengungkapkan saat ini anak-anak kelas menengah keatas di Indonesia memiliki kemampuan yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), karena memiliki akses yang memadai. “Ini seharusnya menjadi sorotan pemerintah. Bagaimana anak-anak menengah ke bawah pun bisa memiliki akses untuk tahu tentang kemajuan teknologi,” tambah Tika.

Analisis:
Berdasarkan kasus di atas, bisa terlihat bahwa pengetahuan teknologi itu sangat penting. Fakta yang menunujukan bahwa adanya ketidak merataannya ilmu pengetahuan teknologi ini, dapat menyebabkan keterbatasan sumber daya manusia. Oleh karena itu, semua warga negara Indonesia harus memiliki dasar ilmu pengetahuan teknologi tanpa terkecuali.



2. Peran Teknologi dalam Mengatasi Kemiskinan

Kasus:
Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai angka kemiskinan yang cukup tinggi. Mengngat bahwa masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau teknologi menjadikan Indonesia tertinggal. Tetapi sekarang ini, sudah banyak teknologi-teknologi dasar yang membantu kegiatan sehari-hari warga seperti teknologi informasi. Teknologi Informasi sangat penting karena dengan adanya informasi terbaru, masayarakat indonesia bisa mengikuti perkembangan zaman. Hal ini bisa mengurangi kemiskinan karena dengan adanya informasi terbaru, masyarakat bisa lebih awas dengan perkembangan zaman dan bisa menciptakan hal-hal baru untuk masyarakat Indonesia sendiri.

Analisis:
Teknologi memang sangat dibutuhkan masyarakat, karena dengan teknologi hampir semua aspek kehidupan dapat terpenuhi mulai dari hal terkecil sampai hal kompleks.



Contoh Kasus lainnya :

1. Contoh Kasus Tentang Ilmu Pengetahuan Teknologi

Kasus mengenai IPTEK yang saat ini marak terdengar adalah kasus penyadapan indonesia oleh australia. Hal ini dipicu oleh sikap indonesia yang masih belum bisa menentukan kawan dan lawan dalam politik hingga membuat australia memutuskan untuk melakukan penyadapan.

Analisis : karena teknologi yang canggih batasan dunia sudah sulit diketahui sehingga negara- negara barat yang maju dapat dengan mudah menggunakan IPTEK dapat dibuktikan dengan adanya kasus penyadapan yang dilakukan australia kepada indonesia.



2. Kasus peranan teknologi dalam mengatasi kemiskinan

Banyak dinegara indonesia, kota-kota atau pedesaan yang belum terjamah oleh teknologi. Contohnya didesa-desa terpencil banyak yang belum mendapatkan listrik, namun dengan adanya teknologi seperti pembangkit listik tenaga air kemiskinan akan listrik dapat teratasi walaupun belum sepenuhnya teratasi namun dapat membantu mengurangi kemiskinan.

Analisis : teknologi sangat berperan pada kemiskinan, dapat membantu mengurangi kemiskinan namun dapat juga menjadikan standar kemiskinan berubah setiap masanya.

Sumber :
  1. http://pandanwulan.wordpress.com/2012/01/09/tugas-ilmu-sosial-dasar-ilmu-pengetahuan-teknologi-dan-kemiskinan/
  2. https://nurfadillahsitee.wordpress.com/2014/01/13/bab-vii-ilmu-pengetahuan-teknologi-dan-kemiskinan/ 
  3. http://princstar-princstar.blogspot.com/2015/01/teknologi-dan-kemiskinan.html
 
 


Kasus Stereotip, Prasangka dan Diskriminasi
akan Etnis Cina pada Mahasiswa Indonesia




Permasalahan etnis Cina serta keturunannya telah menjadi salah satu masalah yang selama puluhan tahun menjadi duri dalam daging di tengah masyarakat Indonesia. Banyak studi telah dilakukan untuk meneliti akar permasalahan serta penanggulangan konflik-konflik yang timbul berkenaan dengan etnis Cina maupun keturunannya (lihat misalnya Suryadinata, 1984; Greif, 1991; Jamuin, 2001; Witanto, 2002).

Isu yang dikemukakan dalam berbagai studi mengenai interaksi antara etnis keturunan Cina dan non-Cina di Indonesia teramat banyak, salah satunya adalah mengenai prasangka. Mengapa prasangka dapat menjadi masalah?

Dalam sebuah masyarakat pasti terdapat penggolongan. Untuk bisa merumuskan suatu penggolongan, kita memerlukan kriteria. Kriteria yang sama akan suatu hal dapat membuat seseorang dengan orang lainnya dimasukkan dalam golongan tertentu, sedangkan perbedaan dalam kriteria tertentu dapat menjadikan ia “orang luar” bagi golongan yang lain. Suwarsih Warnaen dalam bukunya Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis (2002:59), misalnya, menyinggung mengenai apa yang disebut kriteria atribusi antar penggolongan, yang membedakan suatu golongan dari golongan lain. Perbedaan antar golongan ini akan menghasilkan pandangan-pandangan yang tentu mempengaruhi interaksi sosial. Disadari atau tidak, berbagai pandangan ini kemudian meluas sehingga terbentuk stereotip tentang satu kelompok etnis tertentu yang pada gilirannya ketika terjadi benturan akan berubah menjadi prasangka (Witanto, 2002: 2). Prasangka dapat menjadi berbahaya apabila sudah berkenaan dengan konflik.

Hal ini terjadi pada etnis Cina di Indonesia. Prasangka-prasangka akan etnis Cina yang tersimpan di masyarakat selama puluhan tahun terbukti menjadi kambing hitam yang membuat etnis Cina maupun keturunannya menjadi “sasaran” kekerasan yang terjadi, contohnya saja pada peristiwa Mei 1998. Karena dianggap menguasai ekonomi, orang-orang yang tergolong etnis Cina maupun yang cuma secara ‘fisik’ terlihat seperti etnis Cina menjadi target kemarahan publik pada waktu itu (lihat misalnya Publikasi Komnas Perempuan, 1998). Ini membuktikan bahwa prasangka akan etnis Cina tetap menjadi masalah penting yang sekaligus juga menarik untuk dikaji. Apalagi berbagai perubahan terjadi dalam struktur negara dan masyarakat Indonesia pasca 1998 yang ditandai dengan “era reformasi”. Perubahan yang bisa kita lihat paling nyata dalam konteks “budaya Cina” misalnya adalah kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek. Mungkinkah telah terjadi pula perubahan-perubahan pola pikir serta pandangan di dalam masyarakat, baik yang berasal dari golongan non-etnis Cina maupun dari orang-orang yang digolongkan sebagai etnis Cina itu sendiri ? Perubahan pandangan, sekecil apapun, tentu dapat mempengaruhi sikap dalam keseharian bermasyarakat dan hubungan antar individu.


Persepsi, Stereotip, dan Prasangka

Persepsi mengenai etnis keturunan Cina atau disebut juga minoritas Tionghoa sudah memiliki sejarah perkembangan berpuluh-puluh tahun lamanya. Persepsi ini dapat berubah-ubah sesuai kendala ekonomi dan politis yang dihadapi. Dalam bukunya Dilema Minoritas Tionghoa (1984:39-41 & 201-202), Dr. Leo Suryadinata meringkaskan persepsi-persepsi pemimpin pribumi tentang minoritas Tionghoa periode sebelum Perang Dunia II dan setelah Perang Dunia II, yakni minoritas Tionghoa lebih bersifat ekslusif, dan secara ekonomis lebih kuat walaupun belum ada persetujuan seberapa kuat ekonomi Tionghoa itu sebenarnya, serta dianggap masih mempunyai hubungan dan semacam kesetiaan dengan negara Cina. Sebagian orang Indonesia secara pribadi menerima orang Tionghoa peranakan sebagai anggota penuh bangsa Indonesia, namun kebanyakan tidak. Dari segi politik juga tampak bahwa, kecuali PKI dan partai kecil sayap kiri lainnya, semua unsur politik melakukan diskriminasi keanggotaan terhadap etnis Cina.

Bahkan menurut Suryadinata: “merupakan keinginan umum dari semua nasionalis untuk menanggalkan kekuatan ekonomi orang Tionghoa yang oleh para nasionalis itu dianggap sebagai ‘unsur asing’.”



Jika persepsi kedua belah pihak yang ditampilkan Suryadinata lebih mengacu pada sikap politik dan kebangsaan, maka lain halnya dengan persepsi kesamaan yang difokuskan Suwarsih Warnaen. Dari studi persepsi yang dilakukan terhadap orang Jakarta dan luar Jakarta, dengan berbagai latar belakang suku bangsa termasuk suku Tionghoa yang terdiri dari 1.291 siswa SMA kelas III yang berumur antara 16-20 tahun, hasil penelitian Warnaen sebagai berikut. Berbeda dengan suku-suku lainnya, golongan suku bangsa Tionghoa, baik oleh subjek luar Jakarta maupun subjek Jakarta, termasuk subjek golongan etnis sendiri, dianggap tidak sama dengan orang Indonesia (Warnaen, 2002: 391). Akan tetapi golongan Tionghoa menganggap dirinya sama dengan orang Indonesia. Sebagaimana kemudian disimpulkan oleh Warnaen (2002: 396-400) terdapat hubungan antara persepsi kesamaan dan stereotip. Dengan mengutip Lipmann, Warnaen ( 2002: 401) menyatakan bahwa stereotip etnis adalah jenis persepsi yang sangat penting, yang bisa menentukan relasi fungsional antar golongan etnis. Namun apakah stereotip itu sebenarnya?

Istilah stereotip atau stereotype dalam bahasa Inggris, pertama kali dikemukakan pada tahun 1798 oleh pengusaha percetakan asal Perancis, bernama Didot. Awalnya kata ini mengacu pada proses percetakan untuk menghasilkan reproduksi. Walter Lippmann (1922) yang seorang jurnalis, kemudian menggunakannya untuk menyebut “pictures in the head”, atau gambaran di kepala maupun reproduksi mental akan kenyataan. Istilah ini lambat laun berubah makna menjadi semacam generalisasi akan anggota dari sebuah kelompok atau golongan. Stereotip dalam pembentukannya sangat erat dengan kategorisasi. Hal ini diungkapkan H.C Triandis, seperti dikutip oleh Warnaen (2002: 92). Ia menyatakan bahwa bila membuat kategorisasi tentang orang lain, orang cenderung menggunakan stereotip. Maksudnya, mereka memberikan respon yang sama terhadap orang yang berbeda-beda (kategorisasi) dan mengasosiasikan atribut-atribut tertentu pada setiap kategori. Atribut disini adalah ciri-ciri khas yang dianggap dipunyai oleh orang dari suatu kategori tertentu, misalnya ciri fisik, dan perilaku. Stereotip terdiri dari ikatan-ikatan asosiasi antara kategori dan atribut. Warnaen juga mengutip pernyataan D.T Campbell (1967) bahwa semakin besar perbedaan yang nyata tentang kebiasaan-kebiasaan tertentu, segi-segi penampilan fisik atau benda-benda kebudayaan, semakin besar kemungkinan hal itu akan tampil pada gambaran stereotip dari kelompok tertentu tentang kelompok lain. Kamanto Sunarto (Witanto, 2002: 8) mengutip Kornblum, menjelaskan bahwa stereotip merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan keabsahan citra tersebut. Dengan mengutip Sunarto, Witanto (2002: 7-8) menyebutkan bahwa dalam dimensi sikap maka stereotip merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan dengan konsep prasangka (prejudice), yaitu orang yang menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok tersebut.

Stereotip bisa pula bermakna positif (misalnya wanita itu keibuan, orang Jepang jago matematika), namun seringkali justru bermakna negatif dan tak lekang oleh waktu. Stereotip bisa berbahaya jika mendorong munculnya prasangka (prejudice) atau lebih jauh lagi, diskriminasi (Plous, 2003: 4). Meski stereotip dekat hubungannya dengan prasangka, namun bisa juga berdiri tanpa saling terikat satu sama lain. Plous (2003:4) menyatakan, jika sebuah etnis distereotipkan dengan atribut positif atau netral seperti “berorientasi keluarga”, prasangka dan diskriminasi mungkin tidak terlibat. Pernyataan Allport (Warnaen, 2002:120; Witanto, 2002: 8) mendukung hal ini. Ia mengatakan bahwa stereotip tidak identik dengan prasangka. Stereotip berubah sesuai dengan intensitas dan arah prasangka. Menurut Sunarto (Witanto,2002: 8) prasangka (prejudice) sendiri dirumuskan sebagai sikap-sikap khas yang seringkali ditampilkan dalam hubungan antar kelompok. Sikap khas ini, dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok, merupakan sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut memilki ciri-ciri yang tidak menyenangkan.

Kita lihat kembali interaksi antar etnis keturunan Cina dan non Cina di Indonesia. Seperti apakah stereotip dan prasangka yang timbul dari masing-masing pihak terhadap pihak yang lain?

Mengenai stereotip yang dilekatkan kepada etnis Cina, Thung Julan dan Fajar Ibnu Thufail (Witanto,2002: 2) mencatat bahwa “oleh masyarakat pribumi, kelompok etnis Cina pada umumnya diasosiasikan dengan hal-hal seperti pendatang dan perantau, tidak loyal dan tidak nasionalis, ekslusif, selalu mendominasi ekonomi, dan sebagainya”. Suwarsih Warnaen (2002:194, bdk.231-233) mencatatnya berdasarkan jumlah terbanyak sebagai pelit, licik, jorok, bisa dipercaya, rajin, curiga, percaya takhayul, ikatan keluarga kuat, kolot,ambisius. Sedangkan Jamuin mencatat beberapa stigma dan “gosip” bahwa etnis Tionghoa itu pelit, licik, hemat, suka melakukan pelecehan seksual dan kasar terhadap pembantu, serta egois.


Orang Indonesia

Ramah, sopan, malas, tradisional, nasionalis, percaya takhayul, senang berkelompok, suka kesenangan, kolot, senang menerima tamu, kaya fantasi, dan rajin.

· Orang Sunda

Sopan, ramah, jujur, senang menerima tamu, baik hati, penuh perasaan, periang, rajin, rapi dan tenang

· Orang Jawa

Sopan, ramah, jujur, rajin, tradisional, kolot, jorok, dan pelit.

· Orang Minang kabau

Tradisional, ikatan keluarga kuat, kolot, pelit, pengoceh, licik, rajin, percaya takhayul, sopan.

· Orang Batak

Kasar, ikatan keluarga kuat, sepat marah, emosional, kepala batu, licik, blak-blakan, ambisius.

· Orang Manado

Suka pesta, suka kesenangan, periang, suka menerima tamu, sopan, senang berkelompok, rapi, tenang, rajin, tradisional, baik hati.

Sebaliknya, stereotip yang dilekatkan oleh etnis keturunan Cina terhadap kelompok non Cina, bisa dilihat dari penuturan mereka bahwa misalnya “orang Jawa itu malas, peminta-minta dan ingin enaknya sendiri, suka cari nama dan cari perhatian”, serta picik dan dekil (Jamuin, 2001:167, 235). Berdasarkan penelitian Suwarsih Warnaen (2002: 174, 180, 182, 184, 186, 188; Witanto,2002: 3) yakni: Eddy Prabowo Witanto (2002: 20-21) bahkan mengungkapkan bahwa di antara generasi muda etnis Cina sendiri sampai saat ini masih terdapat sikap yang dilekati prasangka, tercermin lewat adanya istilah-istilah tertentu yang digunakan oleh mereka untuk menyebut etnis pribumi, yaitu Huana, Fankui, Fan-nyin, Fan-nang, Fan-nyan, dan Tiko. Sebagian dari mereka ada yang memang tahu makna istilah-istilah tersebut, sebagian lagi tidak tahu meski tetap pernah mengenalnya. Dalam konteks penelitian ini, penulis akan mencoba memperbandingkan persepsi dan prasangka yang pernah ada dengan hasil penelitian sendiri,untuk kemudian dapat menganalisa dan melihat perubahan-perubahan yang terjadi.

(Ashmore & Del Boca, 1981) sebagaimana dikutip dalam “The psychology of prejudice, stereotyping, and discrimination: An overview”. S. Plous (Ed.), Understanding Prejudice and Discrimination. (New York: McGraw-Hill, 2003) hlm. 3-48.

(http://www.understandingprejudice.org/apa/english/).(lihat juga Warnaen, 2002: 117)
lihat Jamuin, Maárif..Memupus Silang-Sengkarut Relasi Jawa-Tionghoa. Panduan Advokasi untuk membangun Rekonsiliasi. (Surakarta: Ciscore dan The Asia Foundation, 2001). Hlm.32, 175 & 235.

Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa UI generasi terkini, dengan perbandingan angka yang nyaris seimbang, tak lagi terlalu terikat dengan identitas “kecinaannya”. Sebab seperti disinggung oleh Witanto (2002:14), nama Cina masih dianggap sebagai cara identifikasi diri seseorang. Hal ini didukung pula oleh persentase responden yang bisa berbahasa Cina, baik Mandarin maupun dialek lokal yang sama sekali nol. Orangtua mereka memang sebagian besar (3 dari 5 orangtua responden atau 60%) masih bisa berbicara dalam bahasa Cina, namun tak satupun yang menggunakan bahasa Cina sehari-hari di rumah. Mengenai identifikasi diri ini, seorang responden malah dengan tegas menyatakan bahwa suku bangsa kedua orang tua serta dirinya adalah melayu Jawa, bukan Cina, meskipun kemudian ia melingkari juga pilihan asal suku bangsa Cina kedua orang tuanya, yakni Hokchia (Ayah) dan Kong-fu (Ibu). Mengenai tradisi sembahyang leluhurpun, nyaris semua menyatakan diri tak lagi melaksanakan tradisi ini, maupun menganggap hal ini sesuatu yang berharga.

Meskipun demikian, sebagian besar responden masih terlihat mewariskan unsur budaya Cina dalam keseharian, seperti panggilan bagi saudara kandung, seperti Cici, Koko, Titi, (60%) meski ada juga yang hanya memanggil nama (40%).

Pandangan dan Persepsi

Bagian ini akan mulai mencari stereotip dan prasangka dengan membandingkan persepsi dan pendapat para responden dari kedua pihak. Pertanyaan masing-masing dibuka dengan pendapat mereka terhadap istilah “Cina” atau “Tionghoa”. Hasilnya sebagai berikut:

Makna
Kelompok A
Kelompok B
Positif
0
1(20%)
Negatif
5 (83,33%)
1 (20%)
Biasa saja
1 (16,66%)
3 (60%)

Ternyata sebagian besar responden kelompok A masih menganggap istilah “Cina” dan “Tionghoa” sebagai istilah yang bermakna negatif. Dari sini saja kita bisa langsung melihat bahwa mereka masih mendapat pengaruh dari persepsi umum akan isu “Cina”. Ini dibuktikan lagi ketika ditanyakan apakah mereka menyadari adanya perbedaan antara etnis Cina dengan pribumi, 100% menjawab Ya. Sedangkan bagi kelompok B, meskipun semuanya menyadari bahwa mereka keturunan etnis Cina, namun 20% (1 orang) dengan yakin menjawab bahwa tidak ada perbedaan antara etnis Cina dengan pribumi. Yang menarik adalah sebagian responden kelompok A yang merasakan perbedaan itu menonjol bukan dari segi fisik, melainkan tingkah laku dan kebiasaan. Berikut adalah tabel urutan prioritas perbedaan yang paling menonjol menurut responden:

Perbedaan paling menonjol (urutan variabel bukan berdasarkan prioritas)

Kelompok A
Kelompok B
Fisik
4 (66,66%)
4 (80%)
Ekonomi
-
-
Pendidikan / Akademis
-
-
Tingkah laku
1 (16,66%)
-
Adat/ kebiasaan
1 (16,66%)
-
Status sosial
-
-
Lain-lain (tidak menjawab)
-
1 (20%)

Selanjutnya ditanyakan persepsi masing-masing mengenai kelompok lainnya. Tak sekedar persepsi, poin ini sebetulnya hendak menyingkap stereotip yang ada di benak responden. Dari kelompok A, muncul pandangan bahwa etnis Cina itu ekslusif, tidak nasionalis, jagoan bisnis/dagang, gigih/ulet, ikatan kekeluargaan erat, suku pendatang, mendominasi ekonomi, ambisius, rajin, bisa dipercaya, berilmu, berani, rapi/modis, pintar, tidak loyal, materialistis. Dalam penjaringan data nomor ini, 2 dari 5 responden kelompok B tidak memberikan jawaban. Namun dari jawaban yang ada, bisa kita lihat bahwa poin yang banyak muncul adalah stereotip akan pribumi yang negatif, meski perbandingan stereotip yang paling banyak muncul, yakni kasar dan ikatan kekeluargaan erat, seimbang. Bagi kelompok A, persepsi yang muncul kadang masih merupakan pengaruh dari keluarga, teman-teman dan lingkungan, serta media massa (50%), sebagian lagi sama sekali tidak dipengaruhi siapapun (50%). Sedangkan bagi kelompok B, persepsi yang muncul tersebut:

Persepsi dipengaruhi oleh:

Jumlah
Keluarga
2
Teman dan lingkungan
4
Media massa
1
Tidak oleh siapapun
1
Namun demikian, seluruh responden menyatakan bahwa kesadaran akan berbagai perbedaan yang ada tidak menjadi hambatan untuk saling berinteraksi. Bahkan baik responden kelompok A maupun B semua mengaku dapat menjalin pertemanan yang cukup dekat satu sama lain. Mengenai pertemanan ini, cukup menarik untuk mengetahui bahwa 4 responden kelompok A (66,66%) merasa mendapatkan keuntungan/ manfaat tersendiri dari pertemanannya tersebut. Manfaat yang paling banyak terasa antara lain sikap/kebiasaan positif (33,33%), pendidikan (16,66%) dan wawasan (16,66%). 66,66% dari mereka juga mengaku mampu terbuka membicarakan masalah ‘perbedaan’, ‘penggolongan’ serta identifikasi lainnya mengenai etnis Cina dengan teman dekatnya yang keturunan etnis Cina sendiri. Separuh dari responden bahkan mengaku pernah membicarakan sisi negatif etnis Cina dengan temannya tersebut. Sementara itu 3 responden kelompok B mengakui juga mendapat manfaat tersendiri dari pertemanannya dengan orang pribumi, antara lain wawasan (20%), jaringan relasional/network (20%) serta perhatian (60%). Seorang responden kelompok B bahkan menyatakan bahwa ia merasa memperoleh keluarga dari pertemanannya dengan orang pribumi, begitupun sebaliknya. Meski demikian, secara umum, penilaian responden kelompok A terhadap sikap etnis Cina dalam berinteraksi adalah masih kurang baik, seperti terlihat dari jawaban responden saat ditanya mengenai sikap etnis Cina dalam berinteraksi:

Sikap etnis Cina dalam berinteraksi :

Jumlah
Baik
0
Kurang baik
4
Biasa saja
2

Mereka pun mengungkapkan, hal yang paling sering dibicarakan secara negatif mengenai etnis Cina adalah sikap/ cara bergaul sehari-hari ( 66,66%). Pembicaraan negatif ini antara lain dipicu pula oleh kasus-kasus perdata seperti korupsi dan KKN (66,66%) serta kasus kekerasan domestik yang dilakukan majikan keturunan Cina seperti terhadap PRT, karyawan (16,66%). Pengetahuan akan keanekaragaman asal daerah /suku /tempat tinggal etnis Cina juga sebagian besar hanya sedikit mempengaruhi (66,6%), jika samasekali tidak mempengaruhi pandangan mereka tersebut (33,33%). Sementara bagi kelompok B (keturunan etnis Cina), sikap pribumi dalam berinteraksi tergolong baik (40%), biasa saja (40%), serta hanya 1 orang (20%) menilai kurang baik. Sebagian besar (80%) responden juga mengaku tak pernah membicarakan sisi negatif mengenai pribumi. Bahkan tidak dalam keluarga. Meskipun mereka semua mengaku kenal istilah yang dilekatkan kepada kelompok pribumi seperti Huana; fankui; fan-nang; fan-nyin; fan-nyan; Tiko, namun hanya 33,33% responden yang mengetahui makna dari istilah-istilah tersebut dan menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari. Sisanya merasa hal itu tidak penting, atau sehari-hari bergaul dengan pribumi, sehingga tidak memakai istilah yang dikenalnya itu. Untuk menyeimbangkan sudut pandang, kita lihat bahwa kebanyakan responden kelompok A (83,33%) juga mengaku pernah membicarakan hal positif mengenai etnis Cina, seperti prestasi-prestasi akademis ataupun non-akademis(66,66%), serta keunikan budaya (33,33%). Penilaian mayoritas responden pun dapat dipengaruhi jika seorang keturunan Cina memeluk agama yang sama dengannya ( 83,33%). Merekapun sebagian besar (66,66%) merasa simpati jika ada kasus-kasus yang terjadi akibat diskriminasi terhadap etnis Cina, alasannya adalah karena sama-sama manusia ciptaan Tuhan, memiliki HAM yang sama.


Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan berikut:
  1. Bagi remaja etnis Cina sekarang ini banyak warisan lama budaya sudah tak lagi melekati identitas mereka, seperti nama Cina, penggunaan bahasa Cina, serta tradisi pemujaan leluhur yang semakin lama semakin hilang.
  2. Di antara remaja etnis Cina dan non Cina hingga sekarang masih terdapat kesadaran akan isu –isu negatif mengenai etnis Cina di Indonesia. Dengan demikian cocok dengan kesimpulan Witanto (2002:23) bahwa proses sosialisasi identifikasi diri dan kelompok masih berjalan.
  3. Terdapat perubahan dalam stereotip yang dilekatkan remaja pribumi kepada etnis Cina. Stereotip positif mulai mendominasi benak remaja pribumi terhadap etnis Cina, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian hipotesa awal adanya perubahan pandangan di antara remaja Indonesia, baik etnis Cina maupun non Cina, sudah terbukti benar.
  4. Bagi remaja pribumi, hal yang paling mengganjal dalam interaksi dengan etnis Cina adalah soal sikap dan tingkah laku yang kurang baik. Sementara bagi remaja etnis Cina, ganjalan utama dalam berinteraksi adalah soal masih adanya diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Masih berkaitan dengan kesimpulan Witanto (2002:24), agaknya benar bahwa keluarga masih menjadi tempat sosialisasi utama, meskipun pengaruhnya dalam membentuk persepsi remaja terhadap kelompok lain semakin berkurang.
  6. Masih adanya kecurigaan dari kedua belah pihak mengenai kepentingan tertentu masing-masing kelompok, menyiratkan bahwa masih ada akar permasalahan yang belum dituntaskan, dan hal itu erat kaitannya dengan masalah ekonomi.


Sumber :
  1. http://kartikafirdaus.blogspot.com/2006/10/studi-kasus-stereotip-dan-prasangka.html 
  2. http://princstar-princstar.blogspot.com/2015/01/kasus-stereotip-prasangka-dan.html