Kasus Stereotip, Prasangka dan Diskriminasi
akan Etnis Cina pada Mahasiswa Indonesia
Permasalahan etnis Cina serta keturunannya telah menjadi salah satu masalah yang selama puluhan tahun menjadi duri dalam daging di tengah masyarakat Indonesia. Banyak studi telah dilakukan untuk meneliti akar permasalahan serta penanggulangan konflik-konflik yang timbul berkenaan dengan etnis Cina maupun keturunannya (lihat misalnya Suryadinata, 1984; Greif, 1991; Jamuin, 2001; Witanto, 2002).
Isu yang dikemukakan dalam berbagai studi mengenai interaksi antara etnis keturunan Cina dan non-Cina di Indonesia teramat banyak, salah satunya adalah mengenai prasangka. Mengapa prasangka dapat menjadi masalah?
Dalam sebuah masyarakat pasti terdapat penggolongan. Untuk bisa merumuskan suatu penggolongan, kita memerlukan kriteria. Kriteria yang sama akan suatu hal dapat membuat seseorang dengan orang lainnya dimasukkan dalam golongan tertentu, sedangkan perbedaan dalam kriteria tertentu dapat menjadikan ia “orang luar” bagi golongan yang lain. Suwarsih Warnaen dalam bukunya Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis (2002:59), misalnya, menyinggung mengenai apa yang disebut kriteria atribusi antar penggolongan, yang membedakan suatu golongan dari golongan lain. Perbedaan antar golongan ini akan menghasilkan pandangan-pandangan yang tentu mempengaruhi interaksi sosial. Disadari atau tidak, berbagai pandangan ini kemudian meluas sehingga terbentuk stereotip tentang satu kelompok etnis tertentu yang pada gilirannya ketika terjadi benturan akan berubah menjadi prasangka (Witanto, 2002: 2). Prasangka dapat menjadi berbahaya apabila sudah berkenaan dengan konflik.
Hal ini terjadi pada etnis Cina di Indonesia. Prasangka-prasangka akan etnis Cina yang tersimpan di masyarakat selama puluhan tahun terbukti menjadi kambing hitam yang membuat etnis Cina maupun keturunannya menjadi “sasaran” kekerasan yang terjadi, contohnya saja pada peristiwa Mei 1998. Karena dianggap menguasai ekonomi, orang-orang yang tergolong etnis Cina maupun yang cuma secara ‘fisik’ terlihat seperti etnis Cina menjadi target kemarahan publik pada waktu itu (lihat misalnya Publikasi Komnas Perempuan, 1998). Ini membuktikan bahwa prasangka akan etnis Cina tetap menjadi masalah penting yang sekaligus juga menarik untuk dikaji. Apalagi berbagai perubahan terjadi dalam struktur negara dan masyarakat Indonesia pasca 1998 yang ditandai dengan “era reformasi”. Perubahan yang bisa kita lihat paling nyata dalam konteks “budaya Cina” misalnya adalah kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek. Mungkinkah telah terjadi pula perubahan-perubahan pola pikir serta pandangan di dalam masyarakat, baik yang berasal dari golongan non-etnis Cina maupun dari orang-orang yang digolongkan sebagai etnis Cina itu sendiri ? Perubahan pandangan, sekecil apapun, tentu dapat mempengaruhi sikap dalam keseharian bermasyarakat dan hubungan antar individu.
Persepsi, Stereotip, dan Prasangka
Persepsi mengenai etnis keturunan Cina atau disebut juga minoritas Tionghoa sudah memiliki sejarah perkembangan berpuluh-puluh tahun lamanya. Persepsi ini dapat berubah-ubah sesuai kendala ekonomi dan politis yang dihadapi. Dalam bukunya Dilema Minoritas Tionghoa (1984:39-41 & 201-202), Dr. Leo Suryadinata meringkaskan persepsi-persepsi pemimpin pribumi tentang minoritas Tionghoa periode sebelum Perang Dunia II dan setelah Perang Dunia II, yakni minoritas Tionghoa lebih bersifat ekslusif, dan secara ekonomis lebih kuat walaupun belum ada persetujuan seberapa kuat ekonomi Tionghoa itu sebenarnya, serta dianggap masih mempunyai hubungan dan semacam kesetiaan dengan negara Cina. Sebagian orang Indonesia secara pribadi menerima orang Tionghoa peranakan sebagai anggota penuh bangsa Indonesia, namun kebanyakan tidak. Dari segi politik juga tampak bahwa, kecuali PKI dan partai kecil sayap kiri lainnya, semua unsur politik melakukan diskriminasi keanggotaan terhadap etnis Cina.
Bahkan menurut Suryadinata: “merupakan keinginan umum dari semua nasionalis untuk menanggalkan kekuatan ekonomi orang Tionghoa yang oleh para nasionalis itu dianggap sebagai ‘unsur asing’.”
Jika persepsi kedua belah pihak yang ditampilkan Suryadinata lebih mengacu pada sikap politik dan kebangsaan, maka lain halnya dengan persepsi kesamaan yang difokuskan Suwarsih Warnaen. Dari studi persepsi yang dilakukan terhadap orang Jakarta dan luar Jakarta, dengan berbagai latar belakang suku bangsa termasuk suku Tionghoa yang terdiri dari 1.291 siswa SMA kelas III yang berumur antara 16-20 tahun, hasil penelitian Warnaen sebagai berikut. Berbeda dengan suku-suku lainnya, golongan suku bangsa Tionghoa, baik oleh subjek luar Jakarta maupun subjek Jakarta, termasuk subjek golongan etnis sendiri, dianggap tidak sama dengan orang Indonesia (Warnaen, 2002: 391). Akan tetapi golongan Tionghoa menganggap dirinya sama dengan orang Indonesia. Sebagaimana kemudian disimpulkan oleh Warnaen (2002: 396-400) terdapat hubungan antara persepsi kesamaan dan stereotip. Dengan mengutip Lipmann, Warnaen ( 2002: 401) menyatakan bahwa stereotip etnis adalah jenis persepsi yang sangat penting, yang bisa menentukan relasi fungsional antar golongan etnis. Namun apakah stereotip itu sebenarnya?
Istilah stereotip atau stereotype dalam bahasa Inggris, pertama kali dikemukakan pada tahun 1798 oleh pengusaha percetakan asal Perancis, bernama Didot. Awalnya kata ini mengacu pada proses percetakan untuk menghasilkan reproduksi. Walter Lippmann (1922) yang seorang jurnalis, kemudian menggunakannya untuk menyebut “pictures in the head”, atau gambaran di kepala maupun reproduksi mental akan kenyataan. Istilah ini lambat laun berubah makna menjadi semacam generalisasi akan anggota dari sebuah kelompok atau golongan. Stereotip dalam pembentukannya sangat erat dengan kategorisasi. Hal ini diungkapkan H.C Triandis, seperti dikutip oleh Warnaen (2002: 92). Ia menyatakan bahwa bila membuat kategorisasi tentang orang lain, orang cenderung menggunakan stereotip. Maksudnya, mereka memberikan respon yang sama terhadap orang yang berbeda-beda (kategorisasi) dan mengasosiasikan atribut-atribut tertentu pada setiap kategori. Atribut disini adalah ciri-ciri khas yang dianggap dipunyai oleh orang dari suatu kategori tertentu, misalnya ciri fisik, dan perilaku. Stereotip terdiri dari ikatan-ikatan asosiasi antara kategori dan atribut. Warnaen juga mengutip pernyataan D.T Campbell (1967) bahwa semakin besar perbedaan yang nyata tentang kebiasaan-kebiasaan tertentu, segi-segi penampilan fisik atau benda-benda kebudayaan, semakin besar kemungkinan hal itu akan tampil pada gambaran stereotip dari kelompok tertentu tentang kelompok lain. Kamanto Sunarto (Witanto, 2002: 8) mengutip Kornblum, menjelaskan bahwa stereotip merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan keabsahan citra tersebut. Dengan mengutip Sunarto, Witanto (2002: 7-8) menyebutkan bahwa dalam dimensi sikap maka stereotip merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan dengan konsep prasangka (prejudice), yaitu orang yang menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok tersebut.
Stereotip bisa pula bermakna positif (misalnya wanita itu keibuan, orang Jepang jago matematika), namun seringkali justru bermakna negatif dan tak lekang oleh waktu. Stereotip bisa berbahaya jika mendorong munculnya prasangka (prejudice) atau lebih jauh lagi, diskriminasi (Plous, 2003: 4). Meski stereotip dekat hubungannya dengan prasangka, namun bisa juga berdiri tanpa saling terikat satu sama lain. Plous (2003:4) menyatakan, jika sebuah etnis distereotipkan dengan atribut positif atau netral seperti “berorientasi keluarga”, prasangka dan diskriminasi mungkin tidak terlibat. Pernyataan Allport (Warnaen, 2002:120; Witanto, 2002: 8) mendukung hal ini. Ia mengatakan bahwa stereotip tidak identik dengan prasangka. Stereotip berubah sesuai dengan intensitas dan arah prasangka. Menurut Sunarto (Witanto,2002: 8) prasangka (prejudice) sendiri dirumuskan sebagai sikap-sikap khas yang seringkali ditampilkan dalam hubungan antar kelompok. Sikap khas ini, dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok, merupakan sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut memilki ciri-ciri yang tidak menyenangkan.
Kita lihat kembali interaksi antar etnis keturunan Cina dan non Cina di Indonesia. Seperti apakah stereotip dan prasangka yang timbul dari masing-masing pihak terhadap pihak yang lain?
Mengenai stereotip yang dilekatkan kepada etnis Cina, Thung Julan dan Fajar Ibnu Thufail (Witanto,2002: 2) mencatat bahwa “oleh masyarakat pribumi, kelompok etnis Cina pada umumnya diasosiasikan dengan hal-hal seperti pendatang dan perantau, tidak loyal dan tidak nasionalis, ekslusif, selalu mendominasi ekonomi, dan sebagainya”. Suwarsih Warnaen (2002:194, bdk.231-233) mencatatnya berdasarkan jumlah terbanyak sebagai pelit, licik, jorok, bisa dipercaya, rajin, curiga, percaya takhayul, ikatan keluarga kuat, kolot,ambisius. Sedangkan Jamuin mencatat beberapa stigma dan “gosip” bahwa etnis Tionghoa itu pelit, licik, hemat, suka melakukan pelecehan seksual dan kasar terhadap pembantu, serta egois.
Orang Indonesia
Ramah, sopan, malas, tradisional, nasionalis, percaya takhayul, senang berkelompok, suka kesenangan, kolot, senang menerima tamu, kaya fantasi, dan rajin.
· Orang Sunda
Sopan, ramah, jujur, senang menerima tamu, baik hati, penuh perasaan, periang, rajin, rapi dan tenang
· Orang Jawa
Sopan, ramah, jujur, rajin, tradisional, kolot, jorok, dan pelit.
· Orang Minang kabau
Tradisional, ikatan keluarga kuat, kolot, pelit, pengoceh, licik, rajin, percaya takhayul, sopan.
· Orang Batak
Kasar, ikatan keluarga kuat, sepat marah, emosional, kepala batu, licik, blak-blakan, ambisius.
· Orang Manado
Suka pesta, suka kesenangan, periang, suka menerima tamu, sopan, senang berkelompok, rapi, tenang, rajin, tradisional, baik hati.
Sebaliknya, stereotip yang dilekatkan oleh etnis keturunan Cina terhadap kelompok non Cina, bisa dilihat dari penuturan mereka bahwa misalnya “orang Jawa itu malas, peminta-minta dan ingin enaknya sendiri, suka cari nama dan cari perhatian”, serta picik dan dekil (Jamuin, 2001:167, 235). Berdasarkan penelitian Suwarsih Warnaen (2002: 174, 180, 182, 184, 186, 188; Witanto,2002: 3) yakni: Eddy Prabowo Witanto (2002: 20-21) bahkan mengungkapkan bahwa di antara generasi muda etnis Cina sendiri sampai saat ini masih terdapat sikap yang dilekati prasangka, tercermin lewat adanya istilah-istilah tertentu yang digunakan oleh mereka untuk menyebut etnis pribumi, yaitu Huana, Fankui, Fan-nyin, Fan-nang, Fan-nyan, dan Tiko. Sebagian dari mereka ada yang memang tahu makna istilah-istilah tersebut, sebagian lagi tidak tahu meski tetap pernah mengenalnya. Dalam konteks penelitian ini, penulis akan mencoba memperbandingkan persepsi dan prasangka yang pernah ada dengan hasil penelitian sendiri,untuk kemudian dapat menganalisa dan melihat perubahan-perubahan yang terjadi.
(Ashmore & Del Boca, 1981) sebagaimana dikutip dalam “The psychology of prejudice, stereotyping, and discrimination: An overview”. S. Plous (Ed.),
Understanding Prejudice and Discrimination. (New York: McGraw-Hill, 2003) hlm. 3-48.
lihat Jamuin, Maárif..Memupus Silang-Sengkarut Relasi Jawa-Tionghoa. Panduan Advokasi untuk membangun Rekonsiliasi. (Surakarta: Ciscore dan The Asia Foundation, 2001). Hlm.32, 175 & 235.
Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa UI generasi terkini, dengan perbandingan angka yang nyaris seimbang, tak lagi terlalu terikat dengan identitas “kecinaannya”. Sebab seperti disinggung oleh Witanto (2002:14), nama Cina masih dianggap sebagai cara identifikasi diri seseorang. Hal ini didukung pula oleh persentase responden yang bisa berbahasa Cina, baik Mandarin maupun dialek lokal yang sama sekali nol. Orangtua mereka memang sebagian besar (3 dari 5 orangtua responden atau 60%) masih bisa berbicara dalam bahasa Cina, namun tak satupun yang menggunakan bahasa Cina sehari-hari di rumah. Mengenai identifikasi diri ini, seorang responden malah dengan tegas menyatakan bahwa suku bangsa kedua orang tua serta dirinya adalah melayu Jawa, bukan Cina, meskipun kemudian ia melingkari juga pilihan asal suku bangsa Cina kedua orang tuanya, yakni Hokchia (Ayah) dan Kong-fu (Ibu). Mengenai tradisi sembahyang leluhurpun, nyaris semua menyatakan diri tak lagi melaksanakan tradisi ini, maupun menganggap hal ini sesuatu yang berharga.
Meskipun demikian, sebagian besar responden masih terlihat mewariskan unsur budaya Cina dalam keseharian, seperti panggilan bagi saudara kandung, seperti Cici, Koko, Titi, (60%) meski ada juga yang hanya memanggil nama (40%).