1.5 Manfaat Penulisan Makalah
a. Bagi Penulis
Bagi penulis, makalah ini sangat bermanfaat karena setelah mengapresiasi
selanjutnya penulis dapat mengalami proses pengkajian, sehingga
pengetahuan serta pengalaman penulis akan karya sastra juga bertambah.
b. Bagi Pembaca
Bagi pembaca, makalah ini dapat menambah wawasan pembaca tentang
kajian terhadap karya sastra serta dapat menemukan nilai-nilai yang
terkandung didalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA
Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek
kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar belakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112).
2. Sosiologi karya sastra, yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra, yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Jadi, Sosiologi Sastra merupakan ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat.
BAB III
ANALISIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI
3.1 Sinopsis
Dukuh paruk adalah sebuah dukuh yang kecil dan menyendiri. Dukuh paruk mempunyai seorang moyang yang bernama Ki Secamenggala. Orang-orang dukuh paruk memuja kuburannya. Suatu hari, Rasus bersama kedua temannya sedang mengembala kambing sambil mencari singkong. Pada saat itu, mereka melihat Srintil sedang bermain sendirian sambil mendendangkan lagu ronggeng dan membuat badongan. Kemudian Srintil menari dengan diiringi Rasus bersama teman-temannya. Srintil mampu menarikan ronggeng dengan sangat baik.
Secara diam-diam Sakarya ditemani Kertareja mengikuti gerak-gerik Srintil ketika cucunya itu menari. Sakarya yakin bahwa Srintil telah kerasukan indang ronggeng. Tak seorangpun menyalahkan Sakarya karena dukuh paruk hanya lengkap apabila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng dengan seperangkat calungnya. Pada hari yang baik Srintil diserahkan oleh Sakarya kepada Kertareja untuk mematuhi hukum Dukuh Paruk mengenai perihal calon ronggeng.
Kertareja menemukan hari baik untuk memulai mengasuh Srintil. Malam itu Srintil didandani seperti layaknya ronggeng dewasa. Nyai Kertareja telah meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Bukan main senang hati masyarakat dukuh paruk ketika mendengar akan ada pementasan ronggeng. Pada saat itu, Srintil menari dengan sangat memesona. Penampilan Srintil lebih menarik karena dibubuhi oleh ulah Sakum yang kocak dan cabul. Para penonton memuji-muji Srintil. Rasus yang sejak tadi mendengar omongan para warga merasa tidak senang. Malam itu merupakan kenangan atas diri Srintil meliputi hati semua orang dukuh paruk.
Kini Rasus telah melihat kenyataan bahwa Srintil telah menjadi ronggeng dalam usia sebelas tahun. Rasus merasa kehilangan perhatian Srintil. Dia mencari akal untuk merebut perhatian Srintil kembali. Suatu hari Rasus menarik perhatian Srintil dengan cara memberinya buah papaya. Pada kesempatan lain, Rasus memberi Srintil keris jaran goyang bekas milik ayahnya. Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Tetapi masih ada tahapan lain untuk menjadi ronggeng yang sempurna. Tahap itu ialah tahap bukak kelambu. Sayembara inilah yang membuat Rasus gelisah. Ia merasa tidak rela kalau Srintil dijadikan sayembara. Sayembara itu dilaksanakan pada Sabtu malam. Rasus yang gelisah tersebut dihibur oleh Warta sahabatnya.
Malam itu Dower datang lagi dengan membawa seekor kerbau. Kertareja belum mau menerima hal tersebut karena yang diinginkan adalah sekeping emas. Pada saat itu, datanglah Sulam dengan membawa sekeping emas. Kedua pemuda tersebut bertengkar memperebutkan Srintil. Pada akhirnya, mereka berdua dapat dibodohi oleh Kertareja dan istrinya.
Sejak saat itu, Rasus meninggalkan dukuh paruk. Suatu hari di pasar Dawuan bertemu Srintil yang sedang berbelanja. Dengan penampilan Srintil setelah menjadi ronggeng Rasus kehilangan bayang-bayang emaknya. Di pasar dawuan inilah Rasus memperoleh pengalaman dan mampu menilai kehidupan di Dukuh paruk secara kritis, tentang kemelaratannya, kebodohannya, dan kemalasannya.
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman lagi. Perampokan dan kekerasan sering terjadi. Rasus meninggalkan pasar Dawuan. Ia berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain bersama tentara di bawah pimpinan sersan Slamet. Tentara itu bermarkas di Dawuan. Sersan Slamet sangat menyukai Rasus. Ia mengajarinya membaca dan menulis.
Kehadiran tentara di Dawuan tak selamanya dapat mencegah perampokan. Kemudian Sersan Slamet membagi kelompok untuk mengawasi rumah-rumah penduduk yang diduga menyimpan emas permata. Pada malam kesembilan terjadi perampokan dirumah Kertareja. Dalam kesempatan itu Rasus bertemu dengan neneknya. Rasus pulang ke rumah neneknya bersama Srintil. Srintil meminta agar Rasus menikah dengan Srintil tetapi Rasus menolaknya.
Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, Rasus merasa telah memberi sesuatu yang sangat berharga bagi Dukuh Paruk, yaitu Ronggeng. Rasus meninggalkan Dukuh paruk dengan gagahnya bukan karena bedil dipundaknya, melainkan karena ia telah yakin bahwa ia mampu hidup tanpa kehadiran bayangan emaknya.
3.2 Citra Masyarakat Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Citra masyarakat Jawa adalah gambaran tentang peran dalam kehidupan sosial. Masyarakat Jawa dicitrakan sangat menjunjung tinggi warisan leluhurnya. Mulai dari bahasa, kepercayaan, mitos serta adat istiadatnya. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa.
Menengok ke bidang-bidang budaya Jawa spiritual, terutama yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan kejawen, sebenarnya ajarannya jelas tidak akan lepas dari persoalan etika kebijaksanaan Jawa. Apalagi ajaran mereka selalu diperoleh melalui penghayatan gaib, hingga di dalamnya terdapat petunjuk Tuhan yang dapat menjadi sumber etika kebijaksanaan Jawa yang lebih berharga.
Penghayat kepercayaan kejawen dapat digolongkan menjadi dua hal. Pertama, etika kebijaksanaan di tingkat paguyuban yaitu hidup yang selalu mengedepankan sikap:
1. pasrah, berserah diri kepada Tuhan secara total (sumarah).
2. bertindak jujur dan ikhlas. Kedua, penghayat hendaknya tolong-menolong. Etika kebijaksanaan ini merupakan aktualisasi dari konsep ”tapa ngrame”. Tapa ngrame dilakukan dengan semangat sepi ing pamrih yang diasumsikan akan menjadi perwujudan pandangan hidup ”memayu hayuning bawana.” Dengan cara ini penghayat meyakini bahwa hidup mereka kelak dapat mencapai cita-cita tertinggi yaitu ”manunggaling kawula-Gusti.”
Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini sangat kental akan kebudayaan, kepercayaan dan mitos-mitos yang mengalir dalam budaya kejawen. Antara lain yaitu budaya keris, Roh-roh, kekeramatan, religi, nasib, sikap nrimo/menerima, keperawanan serta pernikahan.
3.3 Konteks Masyarakat Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
1. Budaya Keris
Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata bilah dua. Bilahnya bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai beberapa jenis, di antara lain keris alang (keris yang sedang panjangnya), keris berluk (keris yang bilahnya berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris yang bilahnya lurus) dan keris parung (keris yang berkeluk sembilan).12 Dalam masa perang kuna, keris dipakai sebagai senjata. Dalam budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena itu, keris merupakan bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga menggantikan pria dalam situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin ketika pengantin pria berhalangan hadir.
Keris juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris dipercaya dapat membuat pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut. Dalam kata lain, keris dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain.
Kebudayaan keris ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, terutama ketika Srintil baru belajar menjadi ronggeng. Keris merupakan suatu perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat ditinggalkan; dipercaya bahwa pemakaian keris yang benar akan membuat tariannya menjadi semakin dahsyat. Ini disebabkan karena keris itu adalah pekasih, dan dianggap mempunyai daya tarik seksual. Selain berbentuk phallus, keris itu mempunyai enerji yang selalu digunakan oleh ronggeng. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap.Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus, dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan juga kata Kartareja.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:24)
Biarpun ini tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan keris sebagaimana dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat dijelaskan. Oleh karena tarian ronggeng digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat (seperti malam bukak-klambu), keris digunakan sebagai pengganti pria. Dengan ronggeng memakai keris, pria dan wanita menyatu.
2. Roh - roh
Dalam kepercayaan Jawa ada berbagai macam roh halus yang dapat menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk menenangkan roh-roh halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka makanan lain atau bunga. Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan. Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada dan kadang-kadang menjenguk keluarga. Roh nenek moyang ini dihormati oleh keluarga dan dipercaya dapat berkomunikasi dengan orang hidup (wangsit).Apabila ini terjadi, apapun yang diminta dianggap sebagai hal yang terbaik. Dunia roh ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam plot Ronggeng Dukuh Paruk. Wangsit terlihat sekali ketika Srintil dilihat menari dengan indah tanpa diajari, Sakarya dan Kartareja merasa bahwa dia dirasuki ndang ronggeng. Kepercayaan ini menjadi dasar mereka untuk melatihkan Srintil menjadi ronggeng. Sementara, ketika Rasus mengambil keris dari rumahnya, dia memberi alasan menerima wangsit dari ayah kepada neneknya supaya tidak banyak ditanya. Ada pula kerasukan arwah Ki Secamenggala. Saat diadakan upacara pemandian di kuburan Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasuk. Seperti tampak pada kutipan berikut.
“Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah terpejam”. Kejadian ini langsung ditangkapi oleh Sakarya sebagai kerasukan. Dengan demikian, Srintil diminta menari untuk memuaskan Ki Secamenggala. Setelah Kartareja mulai memeluk Srintil terlalu keras, baru Ki Secamenggala melepaskannya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:26).
3. Kekeramatan
Di dalam budaya Jawa, kuburuan dianggap sesuatu yang keramat. Ini disebabkan oleh hormat untuk nenek moyang dan kepercayaan bahwa roh orang mati masih menyaksikan segala di bumi. Dengan demikian, untuk acara tertentu, misalnya nyewu, diadakan upacara di pemakaman. Juga diwajibkan sopan santun tinggi saat di kuburan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, kekeramatan ini muncul pada kutipan berikut.
Kepercayaan ini muncul di dua bagian Ronggeng Dukuh Paruk. Pertama, saat diadakan upacara pemandian dan tarian untuk mendapatkan restu Ki Secamenggala agar Srintil menjadi ronggeng. Kali kedua ialah ketika Srintil mengajak Rasus bercinta di pemakaman untuk menenangkannya, tetapi Rasus menolak karena tempat itu adalah tempat yang keramat. Seperti tampak pada kutipan berikut.
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,”jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku.
Kulihat Srintil termangu. Napasnya masih memburu. Rona wajahnya berubah. Terkesan rasa kecewa.Ronggeng Dukuh Paruk itu tetap berdiri seperti batu-batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:39)
4. Religi
Pada umumnya ada dua jenis religi Jawa, yaitu:
a. Islam santri, atau orang yang menolak kepercayaan tradisional Jawa dan memeluk semua aspek Islam.
b. Islam kejawen, atau orang yang secara resmi mengakui Islam tetapi masih memegang erat kepercayaan Jawa. Kaum priyayi pada umumnya termasuk kejawen.
Ada pula orang Jawa yang mempunyai religi lain, misalnya orang Jawa Katolik, Protestan, dan sebagainya, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit. Religi dalam Ronggeng Dukuh Paruk mencerminkan perbedaan itu. Di Dukuh Paruk, tidak ada orang yang dikatakan menganut ajaran Islam dengan baik. Rasus tidak memahami konsep ‘dosa’ sampai pindah ke Dawuan. Hal-hal seperti pergaulan bebas sudah umum di dukuh Paruk.Sementara, di Dawuan ada banyak orang yang menganut Islam dengan cara yang lebih taat, biarpun bukan santri. Misalnya, Siti, seorang gadis seusia Srintil, memakai kerudung dan melarikan diri setelah Rasus mencubit pipinya. Ada pula seorang gadis yang rajin bersolat, sesuatu yang tidak ada di Dukuh Paruk. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Kerudung yang selalu menutupi kepala Siti kusingkapkan. Putih pipinya dan keindahan tengkuknya tak bertirai lagi. Tak ayal tanganku bergerak mencubit pipi putih itu. Mula-mula aku senang karena dengan pipi merah itu Siti bertambah cantik. Namun aku jadi terkejut ketika Siti berlari dengan melemparkan singkong yang telah dibelinya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:50)
5. Nasib
Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam hidup sudah ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir.
Ini muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika Kartareja dan Sakarya mendiskusikan rasuknya Srintil olehi ndang. Setelah melihat tarian Srintil, Kartareja berpendapat: “Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:10).
6. Nerimo/cipto tunggal
Salah satu dasar hidup bersama dalam budaya Jawa adalah konsep nerima, atau maklum atas keterjadian dalam hidup. Oleh karena emosi dianggap sesuatu yang selayaknya dihindari, masyarakat Jawa diajari untuk menerima keadaan apa adanya dengan senang hati.
Ini terwujud dalam batin Srintil, yang menganggap upacara bukak klambu sebagai sebuah keharusan dan karenanya dia tidak memberontak terhadap upacara itu. Dia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan pasrah. Karena itu, walaupun dia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika menjalani upacara itu, dia tidak berani melawan atau memberontak karena menjadi seorang ronggeng adalah suatu kehormatan dalam kedudukan sosial budaya dukuh Paruk.
7. Keperawanan
Keperawanan, atau virginitas, dalam budaya Jawa sangat berarti. Ketidakperawanan istri saat menikah dapat menjadi alasan untuk bercerai, dan wanita tidak berpasangan yang sudah diketahui bukan perawan dianggap sangat rendah. Biarpunhymen rusak karena hal selain berhubungan seks, itu masih dianggap bukan perawan. Akibatnya, wanita Jawa tradisional berusaha untuk menjaganya sampai menikah. Ini sering diwujudkan dengan tidak bergaul dengan lelaki.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, ada dua sudut pandang mengenai keperawanan: satu di Pasar Dawuan, dan satu di Dukuh Paruk. Di Pasar Dawuan, keperawanan wanita dipandang dari sudut pandang Jawa tradisional, yaitu harus dijaga sebisa mungkin. Biarpun ada yang dapat dibayar dan sudah bukan perawan lagi, ada juga yang terkenal pemalu dan sholeh. Ini terbukti dengan adanya tokoh Siti dan satu perempuan tak ternama.Keperawanan di Dukuh Paruk dibahas dengan adanya upacara ritual bukak klambu. Konsep inisiasi ini bertitik tolak dari pandangan bahwa seseorang calon ronggeng baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral upacara sayembara memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Pandangan semacam itu berasal dari konsep mitos yaitu menjadi seorang ronggeng sejati bukanlah hasil pengajaran melainkan jika indang (semacam roh atau wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Para ibu di dukuh itu merasa senang sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri merasa bangga jika suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng. Dengan demikiankita bisa memahami bahwa keperawanan di Dukuh Paruk masih merupakan hal yang istimewa, tetapi untuk alasan yang berbeda dari budaya Jawa tradisional: mengambil keperawanan seseorang, khususnya ronggeng, membawa citra baik, dan menyerahkan keperawanan dapat menghasilkan keuntungan finansial.
8. Pernikahan
Dalam budaya Jawa tradisional, pernikahan adalah perjalanan hidup yang ditempuh oleh dua orang, satu suami dan satu istri. Biarpun sultan dan raja zaman kuna mempunyai beberapa selir, mereka tidak dianggap setara dengan istri. Dalam kalangan orang awam, pernikahan berarti hanya boleh bersetubuh dengan istri dan selir tidak diizinkan. Biarpun menurut ajaran Islam seorang pria boleh menikah lebih dari satu istri, itu harus dengan izin istri pertama; akibatnya, jarang dilakukan. Orang yang diketahui telah selingkuh dipermalukan oleh orang sekampung dan dapat diusir dari kampung mereka.
Di Dukuh Paruk, kebudayaan ini sama sekali tidak dihormati. Apabila seorang suami atau istri berselingkuh, secara tradisional pasangan mereka tidur dengan pasangan orang yang ditiduri dalam perselingkuhan itu. Setelah itu, semua urusan dianggap beres. Kedudukan suami-istri di luar Dukuh Paruk tidak digambarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar